Selasa, 05 Juni 2012

kisahmu kini

OYANG BARAN: DESA MENYIMPAN SEJUTA HARTA MISTERI, KINI MENUAI DERITA

Oleh; Lie Jelivan MSF

Oyang Baran: Kisahmu kini

Nama Oyang Baran, sebuah desa yang masuk dalam Kecamatan Wotan Ulu Mado, yang berdekatan dengan desa Bani Ona-Adonara, mungkin tidak setenar pamor desa-desa lain di Adonara yang banyak dibicarakan dan diskusikan di ruang-ruang publik maupun dunia maya. Desa Oyang Baran seakan tenggelam di tengah hiruk pikuk diskusi pro kontra Pembentukan Adonara Kabupaten. Desa Oyang Baran seakan “terlupakan” oleh masyarakatnya sendiri, namun sukses buat kapitalis asing bernama PT. TOM, milik sekelompok Nipon (Jepang) yang diperkuat oleh barisan Bupati, Disnaker Flotim dan Brimob dari Maumere. Desa Oyang Baran hanya dipandang indah dari tengah laut yang kini dirusak pemandangan pantainya oleh jaring-jaring mutiara buatan Jepang yang memenuhi seluruh pantai dan lautan pesisir desa Oyang Baran, bahkan hampir tiga per empat luas lautan membentang antara Adonara-Solor, Adonara-Larantuka, yang jika dibiarkan terus maka transportasi laut Adonara-Larantuka-Lewoleba menjadi terhambat.

Di bawa bukit nan gersang di musim panas, dalam dandanan jalanan yang rusak penghuni Desa Oyang Baran melakukan aktivitasnya yang sedang memperlihatkan kerja sama pemerintah Flotim bersama kapitalis mutiara berkebangsaan Jepang dalam nama PT. TOM yang berpusat di Jakarta tidak sedikitpun mengubah kehidupan mereka dari penjara kemiskinan bahkan sejengkal jalanpun tak ada perbaikan. Program kerakyatan yang digagas Gubernur NTT yang diyakini mampu mensejahterahkan rakyat NTT, khususnya Flotim-Oyang Baran, menunjukan tidak berdampak apa-apa, karena laut yang adalah milik rakyat telah dijual oleh penguasa Flotim yang dalam masa kampanye, melanjutkan program kerakyatan sang “kakak” seperguruan PDIP dalam jargon SONATA “Soga Naran Lewo Tanah” namun kini hanya “Soga Naran lewo Jepang” di lewo tanah penderitaan masyarakat Oyang Baran.

Hadirmu, Duka Oyang Baran

Sekitar tahun 1994/1995 datang sekelompong pengusaha Jepang dengan bendera PT. TOM yang berpusat di Jakarta yang tentunya dengan ijin Pemerintah Flotim serta kepala desa membuka usaha baru yaitu usaha mutiara sepanjang pantai Oyang Barang yang hingga saat ini areal pengoperasian sudah meramba wilayah pantai Sama Sogen dan Basarani yang elok dan indah. Menurut sumber yang sekitar lima tahun sejak 2002-2007 menjadi guru di salah satu SD Oyang Baran, keputusan dan iji pengoperasian mutiara di wilayah Oyang Baran dari pihak masyarakat dilakuakn secara sepihak oleh salah satu tokoh masyarakat yang sudah tua dan dipandang sebagai wakil warga yang disegani. Tokoh ini rupanya mantan kepala desa di Oyang Baran yang saat itu mengatakan kepada masyarakat, lebih baik diberi ijin karena dengan demikian kita bisa menjadi tenaga kerja di sini meski gaji rendah tapi paling tidak dapat kaum perempuan. Sejatinya; mata pencaharian masyarakat Oyang Baran adalah bertani dan nelayan. Kaum Perempuan dipandang yang paling kuat dalam hal bertani. Maka hadirnya PT. TOM yang melakuan pengoperasian mutiara di wilayah pantai Oyang Baran dipandang dapat membantu kaum perempuan meski hanya sebagai tenaga kerja harian. Kebanyakan masyarakat yang bekerja di perusahan mutiara milik Nipon ini adalah tenaga harian yang gajinya per hari termasuk uang makan sebesar Rp. 20.000 tanpa ada jaminan apa-apa. Hanya 2-3 orang (anak aparat desa) dijadikan tenaga kerja tetap.

Yang lebih memprihatinkan bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah duka adalah bahwa sekali panen bisa menghasilkan ratusan juta rupiah bagi PT. TOM. Mutiara dipanen 3 bulan sekali, artinya dalam satu tahun terjadi panen sebanyak 4 kali di mana ketika panen biasanya 1 ember baskom terisi penuh, yang diperkirakan sebanyak seribu biji mutiara untuk satu ember baskom. Sedang kulit siput tempat mutiara mengembangkan hidupnya, yang sudah kering dijual dengan harga Rp. 20.000/kilo. Namun apa mau dikata, penguasa dan pengusaha adalah pemilik yang berkuasa menjajah dan masyarakat tetaplah masyarakat kecil yang selalu mendapat bagian derita. Dari hasil yang sangat menjanjikan bagi sebuah kesejahteraan masyarakat, masyarakat Oyang Baran untuk desa, dusun dan gereja hanya diberi sumbang Rp. 300.000/tahun. Uang tiga ratus ribu untuk satu tahun mau mengembangkan apa?

Penindas bertopeng Mutiara

Areal pengoperasian mutiara di wilayah pantai Oyang Baran dijaga secara ketat. Tidak hanya satpam, tetapi juga brimob sebanyak 5 orang/bulan dari tahun 2002-2007. Dan setelah tahun 2007 hingga saat ini hanya 3 brimob/bulan yang ditugaskan untuk menjaga. Rotasi penjagaan dilakukan setiap tanggal 5 dalam bulan. Para anggota brimom ini didatangkan dari Maumere. Warga setempat tidak diijinkan memasuki areal perusahaan mutiara tersebut. Jika ketahuan masuk maka akan ditangkap dan dipukul. Pernah terjadi pemukulan beberapa warga Lamahala hingga babak belur oleh para brimbob“anjing” perusahaan Nipon ini. Saat itu para nelayan Lamahala ini mencari ikan diluar areal pengoperasian mutiara, namun karena baling-baling perahu mereka nyangkut pada jaring-jaring mutiara, beberapa nelayan turun untuk melepaskan jaring itu dari baling-baling agar perahu dapat berjalan kembali. Karena ketahuan, mereka ditangkap oleh para brimob yang melakukan ronda. Tanpa ditanya alasannya, para nelayan ini dipukul hingga babak belur.

Tidak hanya penindasan fisik. Tapi juga terjadi penindasan aset pariwisata yang dilakukan oleh para Nipon bersama pemerintah Flotim. Beberapa investor yang hendak mengembangkan pariwisata pantai Sama Sogen dan Basarani tidak diijinkan oleh pihak PT. TOM bersama pemerintah Flotim dengan alasan bahwa wilayah Pantai Sama Sogen dan Basarani sudah masuk dalam areal pengoperasian mutiara milik PT. TOM. Dan kin penindasan itu telah merambah dan mencaplok areal pantai Sama Sogen dan Basarani. Bahkan pariwisata Air Panas Oyang Baran dan telaga yang didalamnya berisi sebuah periuk dan gading kini hanya tinggal kenangan dan siap menjadi fosil tak berguna karena beberapa meter dari dua aset pariwisata ini adalah jembatan kayu tempat pembersihan siput mutiara milik PT. TOM, yang dengan demikian maka tidak mungkin dilakukan wisata di daerah wisata milik masyarakat Adonara, milik warga Oyang Baran.

Hentikan Ribut kita, Berdayakan Petani, Nelayan dan Aset Wisata

Menyimak situasi Oyang Baran yang adalah sebuah potret penindasan dan penderitaan dari kapitalis asing berselingkuh penguasa Flotim dan tokoh masyarakat setempat yang sepertinya dilupakan oleh kita karena ribut dengan pembentukan Adonara Kabupaten, secara pribadi saya mengatakan dari relung sakit dan prihatinku; “OYANG BARAN: DESA MENYIMPAN SEJUTA HARTA MISTERI, KINI MENUAI DERITA”. Oyang Baran menderita karena aktivitas dan mata pencaharian sebagai Nelayan secara perlahan namun pasti dengan sendirinya mati karena seluruh areal pesisir telah dicuri oleh kapitalis Nipon bersama pemerintah Flotim dan aparat desa Oyang Baran. Bahkan aset wisatapun dengan sendirinya hilang. Artinya aset wisata yang sebenarnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat dengan sendirinya hilang dari kehidupannya.

Kaum Perempuan Oyang Baran telah menunjukkan vitalitasnya sebagai sosok Petani yang kuat. Di tengah himpitan ekonomi, dalam cakar kapitalis Nipon Kaum Perempuan tetap bekerja sebagai Petani. Maka baiklah kita hentikan ribut kita dan kita berdayakan Para Nelayan, Petani dan masyarakat kita, terlebih mencoba memberikan pemahaman untuk mengubah pola pikir masyarakat kita agar tidak menggantungkan hidupnya, seakan-akan melihat para Nipon sebagai “tuhan” bagi warganya, melainkan menyadari bahwa Petani, Nelayan dan aset wisata adalah aset berharga bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Adonara Menderita...Oyang Baran Terluka...Siapa yang menyembuhkannya...??

Kisah Seorang Guru Oyang Baran:
Kami hidup dari Petani, Nelayan...tapi kini hilang semuanya
Dikisahkan kembali oleh: Lie Jelivan MSF
Minggu, 15 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar