kisahmu kini
OYANG BARAN: DESA MENYIMPAN SEJUTA HARTA MISTERI, KINI MENUAI DERITA
Oleh; Lie Jelivan MSF
Oyang Baran: Kisahmu kini
Nama Oyang Baran, sebuah desa yang masuk dalam Kecamatan Wotan Ulu
Mado, yang berdekatan dengan desa Bani Ona-Adonara, mungkin tidak
setenar pamor desa-desa lain di Adonara yang banyak dibicarakan dan
diskusikan di ruang-ruang publik maupun dunia maya. Desa Oyang Baran
seakan tenggelam di tengah hiruk pikuk diskusi pro kontra Pembentukan
Adonara Kabupaten. Desa Oyang Baran seakan “terlupakan” oleh
masyarakatnya sendiri, namun sukses buat kapitalis asing bernama PT.
TOM, milik sekelompok Nipon (Jepang) yang diperkuat oleh barisan Bupati,
Disnaker Flotim dan Brimob dari Maumere. Desa Oyang Baran hanya
dipandang indah dari tengah laut yang kini dirusak pemandangan pantainya
oleh jaring-jaring mutiara buatan Jepang yang memenuhi seluruh pantai
dan lautan pesisir desa Oyang Baran, bahkan hampir tiga per empat luas
lautan membentang antara Adonara-Solor, Adonara-Larantuka, yang jika
dibiarkan terus maka transportasi laut Adonara-Larantuka-Lewoleba
menjadi terhambat.
Di bawa bukit nan gersang di musim panas,
dalam dandanan jalanan yang rusak penghuni Desa Oyang Baran melakukan
aktivitasnya yang sedang memperlihatkan kerja sama pemerintah Flotim
bersama kapitalis mutiara berkebangsaan Jepang dalam nama PT. TOM yang
berpusat di Jakarta tidak sedikitpun mengubah kehidupan mereka dari
penjara kemiskinan bahkan sejengkal jalanpun tak ada perbaikan. Program
kerakyatan yang digagas Gubernur NTT yang diyakini mampu
mensejahterahkan rakyat NTT, khususnya Flotim-Oyang Baran, menunjukan
tidak berdampak apa-apa, karena laut yang adalah milik rakyat telah
dijual oleh penguasa Flotim yang dalam masa kampanye, melanjutkan
program kerakyatan sang “kakak” seperguruan PDIP dalam jargon SONATA
“Soga Naran Lewo Tanah” namun kini hanya “Soga Naran lewo Jepang” di
lewo tanah penderitaan masyarakat Oyang Baran.
Hadirmu, Duka Oyang Baran
Sekitar tahun 1994/1995 datang sekelompong pengusaha Jepang dengan
bendera PT. TOM yang berpusat di Jakarta yang tentunya dengan ijin
Pemerintah Flotim serta kepala desa membuka usaha baru yaitu usaha
mutiara sepanjang pantai Oyang Barang yang hingga saat ini areal
pengoperasian sudah meramba wilayah pantai Sama Sogen dan Basarani yang
elok dan indah. Menurut sumber yang sekitar lima tahun sejak 2002-2007
menjadi guru di salah satu SD Oyang Baran, keputusan dan iji
pengoperasian mutiara di wilayah Oyang Baran dari pihak masyarakat
dilakuakn secara sepihak oleh salah satu tokoh masyarakat yang sudah tua
dan dipandang sebagai wakil warga yang disegani. Tokoh ini rupanya
mantan kepala desa di Oyang Baran yang saat itu mengatakan kepada
masyarakat, lebih baik diberi ijin karena dengan demikian kita bisa
menjadi tenaga kerja di sini meski gaji rendah tapi paling tidak dapat
kaum perempuan. Sejatinya; mata pencaharian masyarakat Oyang Baran
adalah bertani dan nelayan. Kaum Perempuan dipandang yang paling kuat
dalam hal bertani. Maka hadirnya PT. TOM yang melakuan pengoperasian
mutiara di wilayah pantai Oyang Baran dipandang dapat membantu kaum
perempuan meski hanya sebagai tenaga kerja harian. Kebanyakan masyarakat
yang bekerja di perusahan mutiara milik Nipon ini adalah tenaga harian
yang gajinya per hari termasuk uang makan sebesar Rp. 20.000 tanpa ada
jaminan apa-apa. Hanya 2-3 orang (anak aparat desa) dijadikan tenaga
kerja tetap.
Yang lebih memprihatinkan bahkan dapat dikatakan
sebagai sebuah duka adalah bahwa sekali panen bisa menghasilkan ratusan
juta rupiah bagi PT. TOM. Mutiara dipanen 3 bulan sekali, artinya dalam
satu tahun terjadi panen sebanyak 4 kali di mana ketika panen biasanya 1
ember baskom terisi penuh, yang diperkirakan sebanyak seribu biji
mutiara untuk satu ember baskom. Sedang kulit siput tempat mutiara
mengembangkan hidupnya, yang sudah kering dijual dengan harga Rp.
20.000/kilo. Namun apa mau dikata, penguasa dan pengusaha adalah pemilik
yang berkuasa menjajah dan masyarakat tetaplah masyarakat kecil yang
selalu mendapat bagian derita. Dari hasil yang sangat menjanjikan bagi
sebuah kesejahteraan masyarakat, masyarakat Oyang Baran untuk desa,
dusun dan gereja hanya diberi sumbang Rp. 300.000/tahun. Uang tiga ratus
ribu untuk satu tahun mau mengembangkan apa?
Penindas bertopeng Mutiara
Areal pengoperasian mutiara di wilayah pantai Oyang Baran dijaga secara
ketat. Tidak hanya satpam, tetapi juga brimob sebanyak 5 orang/bulan
dari tahun 2002-2007. Dan setelah tahun 2007 hingga saat ini hanya 3
brimob/bulan yang ditugaskan untuk menjaga. Rotasi penjagaan dilakukan
setiap tanggal 5 dalam bulan. Para anggota brimom ini didatangkan dari
Maumere. Warga setempat tidak diijinkan memasuki areal perusahaan
mutiara tersebut. Jika ketahuan masuk maka akan ditangkap dan dipukul.
Pernah terjadi pemukulan beberapa warga Lamahala hingga babak belur oleh
para brimbob“anjing” perusahaan Nipon ini. Saat itu para nelayan
Lamahala ini mencari ikan diluar areal pengoperasian mutiara, namun
karena baling-baling perahu mereka nyangkut pada jaring-jaring mutiara,
beberapa nelayan turun untuk melepaskan jaring itu dari baling-baling
agar perahu dapat berjalan kembali. Karena ketahuan, mereka ditangkap
oleh para brimob yang melakukan ronda. Tanpa ditanya alasannya, para
nelayan ini dipukul hingga babak belur.
Tidak hanya penindasan
fisik. Tapi juga terjadi penindasan aset pariwisata yang dilakukan oleh
para Nipon bersama pemerintah Flotim. Beberapa investor yang hendak
mengembangkan pariwisata pantai Sama Sogen dan Basarani tidak diijinkan
oleh pihak PT. TOM bersama pemerintah Flotim dengan alasan bahwa wilayah
Pantai Sama Sogen dan Basarani sudah masuk dalam areal pengoperasian
mutiara milik PT. TOM. Dan kin penindasan itu telah merambah dan
mencaplok areal pantai Sama Sogen dan Basarani. Bahkan pariwisata Air
Panas Oyang Baran dan telaga yang didalamnya berisi sebuah periuk dan
gading kini hanya tinggal kenangan dan siap menjadi fosil tak berguna
karena beberapa meter dari dua aset pariwisata ini adalah jembatan kayu
tempat pembersihan siput mutiara milik PT. TOM, yang dengan demikian
maka tidak mungkin dilakukan wisata di daerah wisata milik masyarakat
Adonara, milik warga Oyang Baran.
Hentikan Ribut kita, Berdayakan Petani, Nelayan dan Aset Wisata
Menyimak situasi Oyang Baran yang adalah sebuah potret penindasan dan
penderitaan dari kapitalis asing berselingkuh penguasa Flotim dan tokoh
masyarakat setempat yang sepertinya dilupakan oleh kita karena ribut
dengan pembentukan Adonara Kabupaten, secara pribadi saya mengatakan
dari relung sakit dan prihatinku; “OYANG BARAN: DESA MENYIMPAN SEJUTA
HARTA MISTERI, KINI MENUAI DERITA”. Oyang Baran menderita karena
aktivitas dan mata pencaharian sebagai Nelayan secara perlahan namun
pasti dengan sendirinya mati karena seluruh areal pesisir telah dicuri
oleh kapitalis Nipon bersama pemerintah Flotim dan aparat desa Oyang
Baran. Bahkan aset wisatapun dengan sendirinya hilang. Artinya aset
wisata yang sebenarnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
setempat dengan sendirinya hilang dari kehidupannya.
Kaum
Perempuan Oyang Baran telah menunjukkan vitalitasnya sebagai sosok
Petani yang kuat. Di tengah himpitan ekonomi, dalam cakar kapitalis
Nipon Kaum Perempuan tetap bekerja sebagai Petani. Maka baiklah kita
hentikan ribut kita dan kita berdayakan Para Nelayan, Petani dan
masyarakat kita, terlebih mencoba memberikan pemahaman untuk mengubah
pola pikir masyarakat kita agar tidak menggantungkan hidupnya,
seakan-akan melihat para Nipon sebagai “tuhan” bagi warganya, melainkan
menyadari bahwa Petani, Nelayan dan aset wisata adalah aset berharga
bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Adonara Menderita...Oyang Baran
Terluka...Siapa yang menyembuhkannya...??
Kisah Seorang Guru Oyang Baran:
Kami hidup dari Petani, Nelayan...tapi kini hilang semuanya
Dikisahkan kembali oleh: Lie Jelivan MSF
Minggu, 15 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar