SARJANA...MATI DAN MAKIN MENUMPUK DITENGAH TUMPUKAN KOPRA
oleh Komunal Adonara pada 5 April 2010 pukul 2:10 ·
Judul
tulisan ini muncul dari realitas social kemasyarakatan di Adonara saat
ini. Adonara adalah sebuah pulau kecil diujung tmur pulau Flores. Secara
administrasi wilayah masuk dalam wilayah Kabupaten Flores Timur
Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Realitas social
kemasyarakatan ini sengaja diangkat dengan harapan menjadi bahan diskusi
bagaimana peran kepemimpinan pada aras atas, aras tengah, dan akar
rumput ketika derasnya budaya luar yang tengah merongrong tatanan
komunal masyarakat di Adonara disatu sisi.
Judul tulisan
ini sengaja diangkat ketika realitas social kemasyarakatan yang sempat
terbaca lalu kemudian dikaitkan dengan wacana para intelek menjadikan
adonara sebagai kabupaten dengan keberadaan UU otonomi daerah saat ini.
Wacana ini dengan dasar pemikiran bahwa adonara bisa keluar dari
keterbelakangan hanya jika menjadi sebuah daerah otonom. Dengan asumsi
SDA dan SDM bisa diandalkan pada sisi yang lainnya.
Besar
harapan nantinya kita dapat menemukan posisi mahasiswa dan kepemimpinan
seperti apa yang perlu diperankan sebagai sarjana ketika pulang ke
kampung halaman. Apa yang diangkat ini adalah salah satu dari sekian
contoh realitas social kemasyarakatan Adonara saat ini.
Keseharian sebagai kaum muda di Adonara
Malam
itu udara sangat dingin. Suhu udara kira-kira 29 derajat Celsius dengan
kelembaban udara 80%. Suhu udara malam seperti ini sering dirasakan
pada musim paceklik.
Jam menunjukan pukul 21.00 Wib. dan
seperti biasa kami berkumpul, bersendahgurau dan bercerita asal usul
nenek moyang dan apa yang dititipkan pada pundak kami sebagai generasi
ditemani air sadapan dari pohon kelapa. Walaupun demikian tapi tradisi
ini kerap kali diingatkan karena saat pulang pasti membuat keributan.
Maklum saat pulang pasti sudah setengah manusia karena kelebihan
alcohol.
Ah…persetan. Yang penting tadi malam sedikit
kutemukan siapa saya yang sebenarnya, ketika kami berbicara yang
transenden diatas kepala kami, sesama disekeliling kami dan bumi dibawa
pijakan kaki kami yang selalu bergerak maju. Pertanyaan yang kami cari
cuma satu. Dimnakah posisi kami dan siapakah kami?
Walaupun
kadang saya berpikr bahwa jawaban dari pertanyaan ini saban hari kita
pun bisa tau walaupun saat itu kita mungkin tengah menghembuskan napas
kita yang terakhir. Lalu kemudian anak cucu kita mencari lagi jawaban
dari pertanyaan yang tersisa itu. Begitulah kira-kira keseharian anak
muda seperti saya di kampung halaman ketika pulang libur semester. Penuh
canda, ceria, bersendah gurau sambil menikmati dan merasakan nikmatnya
hidup atas kearifan budaya leluhur dan alam hijau kami.
Udara
semakin dingin karena kampungku dikelilingi bebukitan dan didepanya ada
hamparan pemandangan yang begitu luas sampai ke perbatasan laut dan
daratan nun jauh disana. Horowura adalah nama kampungku yang mana secara
administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Kelubagolit Kabupaten Flores
Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Tiba-tiba saya kaget
dan terbangun dari tempat tidur. Terdengar sayup ada suara yang
memanggil namaku. Lantas menjawab panggilan itu. Lalu bergumam…ah, mabuk
lagi-mabuk lagi….. suara itu pasti bukan ibuku. Sudah pasti semalam
bermalam dirumah orang. Tapi tidak apa-apa, walaupun begitu tetapi ini
pun rumah saya juga. Rumah dimana dapat kunikmati air kehidupan dan
pohon perlindungan.
Fenomena harga kopra
Suara yang
memanggil itu tantaku. Seketika lalu menghampiri suara itu. Ternyata
saya diminta pergi mengambil kopra dikebun kelapa lalu kemudian
menggantikannya dengan rupiah ditempat para tengkulak. Lantas menghelah
ajakan itu. Sekarang baru jam berapa? Agak siang saja, masih ngantuk.
Seketika terbayang dikepalaku hangatnya kain tenunan moyangku dan tidur
diatas balai-balai bambu buatan tangan leluhurku. Maklum dirumah saya
sudah diganti dengan kasur buatan made in Cina ha…ha…ha….
Ajakan
itu pun saya amini. Lalu kembali merapihkan tempat tidur serta sarung
tenun yang menemani tidur panjang semalam. Seketika dikagetkan lagi
dengan suara yang lebih keras, ayo cepat, kalau agak siang harganya
sudah berubah. Kaget lalu bergumam. Kok bisa? Ah…pasti ada yang tidak
beres. Gumamku dalam hati
Fenomena yang terjadi memang
seperti itu. Tapi mau mengadu ke siapa? Toh…para tengkulak harus mencari
makan dengan cara seperti itu. Ya wajar. Namanya juga tengkulak. Kalau
ditanya jawabannya memang harganya segini atau segitu.
Terdengar
namaku dipanggil lagi. Tapi ternyata itu ajakan untuk segera meneguk
kopi hitam yang sudah disediakan diatas balai bambu. Segelas kopi itu
pun kuhabiskan ditemani sepuntung rokok yang semalam dimatikan dan
kusimpan diatas palang pintu.
Sampai sekarang pun saya
masih bertanya-tanya kenapa harga kopra berubah antara pagi, siang sore
maupun malam. Rata-rata harga kopra hanya sebanding dengan sebatang
sabun mandi kalangan masyarakat bawah. Lalu muncul pertanyaan, bukannya
harga kopra harus sebanding dengan harga 1kg beras karena harus
didatangkan dari pulau Jawa? Tidak perlu berharap ketika pemerintah
sibuk bercinta dengan pengusaha, rohaniwan sibuk dengan tradisi/ritual
ekaristi, LSM sibuk kencan dengan lembaga donor. Keberadaan kelompok ini
tidak perna menyadari sudah menggantikan kepemimpinan tatanan komunal
masyarakat setempat. Ada tumpang tindih kepemimpinan.
Pernak-pernik
leluhur jadi miniatur. Balai desa jadi tempat berlindung hewan
peliharaan masyarakat dikala terik. Masyarakat kebingungan dengan budaya
kristiani dan adat istiadat setempat ketika wujud persembahan
masyarakat sebelumnya adalah di nuba nara (batu perjanjian) yang kini
sudah dipindahkan ke altar gereja. Keberadaan gereja menghilangkan rumah
adat yang dijaga weruin (kepala suku). Mereka lalu menuding budaya
penghambat pembangunan ketika masyarakat lebih mementingkan kekerabatan
dengan mengeluarkan jutaan rupiah untuk ritual adat ketimbang memikirkan
biaya kuliah atau pendidikan anaknya.
Sebuah konsepsi dan indikasi
Terlepas
dari itu, bolelah kita berangan-angan. Andaikan kopra itu dibeli oleh
desa. Atau kongkritnya semacam koprasi desa, dan setiap kilogram
misalnya disisikan Rp 100 untuk desa. Bayangkan saja dalam setahun
berapa ton kopra yang ditimbang dan berapa rupiah yang disisikan untuk
desa yang lalu kemudian dipakai untuk membangun desa baik fisik maupun
non fisik? Jikalau demikian, tidak mungkin saya dan beberapa teman saja
yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke peguruan tinggi. Sebab desa
mampu memberi pinjaman kepada masyarakat lewat koperasi desa.
Tapi
apakah pernah ada yang berpikir demikian? Jawaban dari pertanyaan itu
belum terjawa sampai sekarang. Lalu apa yang bisa kita lakukan oleh kita
sebagai mahasiswa, ketika melihat bahan baku semisal kopra tadi?
Pertanyaan terakhir ini konyol sekali karena mahasiswa yang kuliah di
jawa tidak mau pulang. Mereka terlanjur berpikir kolot warisan leluhur,
menilai terbelakang peninggalan nenek moyang. Kalau pun ditanya,
jawabannya cuma satu. Kalau pulang, mau kerja apa dikampung? Mendengar
jawaban itu saya selalu bergumam, bukannya tingkat pendidikan harus
sejalan dengan realitas kehidupan social budaya masyarakat setempat?
Teringat celetukan teman saya saat mengikuti diskusi regular yang
diadakan Generasi Muda Adonara (GEMA) Surabaya. Ibu saya petani, bapak
saya petani, maka saya pun petani. Demikian teman saya bergumam!
penutup
Begitulah
kira-kira proses inkulturasi budaya yang seolah tidak berjalan
semestinya. Persoalan ini perlu dipikirkan oleh pemimpin-pemimpin pada
aras atas seperti pemerintah, aras tengah seperti agamawan serta pada
akar rumput oleh LSM atau mahasiswa. Pertanyaan yang menjadi bahan
diskusi kita dalam konteks persoalan yang diangkat diatas adalah
1. Bagaimana kepemimpinan pada aras atas, aras tengah dan akar rumput mengambil peran?
2.
Ketika kita berbicara proses inkulturasi yang berjalan tidak
semestinya, apakah pendidikan perlu diarahkan sebagai wahana pembudayaan
budaya bangsa jikalau pendidikan dipandang sebagai jembatan menuju
perubahan ke arah yang lebih baik?
3. Dimanakah posisi kita sebagai mahasiswa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar