Selasa, 05 Juni 2012

Realita

SARJANA...MATI DAN MAKIN MENUMPUK DITENGAH TUMPUKAN KOPRA

oleh Komunal Adonara pada 5 April 2010 pukul 2:10 ·
Judul tulisan ini muncul dari realitas social kemasyarakatan di Adonara saat ini. Adonara adalah sebuah pulau kecil diujung tmur pulau Flores. Secara administrasi wilayah masuk dalam wilayah Kabupaten Flores Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Realitas social kemasyarakatan ini sengaja diangkat dengan harapan menjadi bahan diskusi bagaimana peran kepemimpinan pada aras atas, aras tengah, dan akar rumput ketika derasnya budaya luar yang tengah merongrong tatanan komunal masyarakat di Adonara disatu sisi.

Judul tulisan ini sengaja diangkat ketika realitas social kemasyarakatan yang sempat terbaca lalu kemudian dikaitkan dengan wacana para intelek menjadikan adonara sebagai kabupaten dengan keberadaan UU otonomi daerah saat ini. Wacana ini dengan dasar pemikiran bahwa adonara bisa keluar dari keterbelakangan hanya jika menjadi sebuah daerah otonom. Dengan asumsi SDA dan SDM bisa diandalkan pada sisi yang lainnya.

Besar harapan nantinya kita dapat menemukan posisi mahasiswa dan kepemimpinan seperti apa yang perlu diperankan sebagai sarjana ketika pulang ke kampung halaman. Apa yang diangkat ini adalah salah satu dari sekian contoh realitas social kemasyarakatan Adonara saat ini.

Keseharian sebagai kaum muda di Adonara
Malam itu udara sangat dingin. Suhu udara kira-kira 29 derajat Celsius dengan kelembaban udara 80%. Suhu udara malam seperti ini sering dirasakan pada musim paceklik.

Jam menunjukan pukul 21.00 Wib. dan seperti biasa kami berkumpul, bersendahgurau dan bercerita asal usul nenek moyang dan apa yang dititipkan pada pundak kami sebagai generasi ditemani air sadapan dari pohon kelapa. Walaupun demikian tapi tradisi ini kerap kali diingatkan karena saat pulang pasti membuat keributan. Maklum saat pulang pasti sudah setengah manusia karena kelebihan alcohol.

Ah…persetan. Yang penting tadi malam sedikit kutemukan siapa saya yang sebenarnya, ketika kami berbicara yang transenden diatas kepala kami, sesama disekeliling kami dan bumi dibawa pijakan kaki kami yang selalu bergerak maju. Pertanyaan yang kami cari cuma satu. Dimnakah posisi kami dan siapakah kami?

Walaupun kadang saya berpikr bahwa jawaban dari pertanyaan ini saban hari kita pun bisa tau walaupun saat itu kita mungkin tengah menghembuskan napas kita yang terakhir. Lalu kemudian anak cucu kita mencari lagi jawaban dari pertanyaan yang tersisa itu. Begitulah kira-kira keseharian anak muda seperti saya di kampung halaman ketika pulang libur semester. Penuh canda, ceria, bersendah gurau sambil menikmati dan merasakan nikmatnya hidup atas kearifan budaya leluhur dan alam hijau kami.

Udara semakin dingin karena kampungku dikelilingi bebukitan dan didepanya ada hamparan pemandangan yang begitu luas sampai ke perbatasan laut dan daratan nun jauh disana. Horowura adalah nama kampungku yang mana secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Kelubagolit Kabupaten Flores Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Tiba-tiba saya kaget dan terbangun dari tempat tidur. Terdengar sayup ada suara yang memanggil namaku. Lantas menjawab panggilan itu. Lalu bergumam…ah, mabuk lagi-mabuk lagi….. suara itu pasti bukan ibuku. Sudah pasti semalam bermalam dirumah orang. Tapi tidak apa-apa, walaupun begitu tetapi ini pun rumah saya juga. Rumah dimana dapat kunikmati air kehidupan dan pohon perlindungan.

Fenomena harga kopra
Suara yang memanggil itu tantaku. Seketika lalu menghampiri suara itu. Ternyata saya diminta pergi mengambil kopra dikebun kelapa lalu kemudian menggantikannya dengan rupiah ditempat para tengkulak. Lantas menghelah ajakan itu. Sekarang baru jam berapa? Agak siang saja, masih ngantuk. Seketika terbayang dikepalaku hangatnya kain tenunan moyangku dan tidur diatas balai-balai bambu buatan tangan leluhurku. Maklum dirumah saya sudah diganti dengan kasur buatan made in Cina ha…ha…ha….

Ajakan itu pun saya amini. Lalu kembali merapihkan tempat tidur serta sarung tenun yang menemani tidur panjang semalam. Seketika dikagetkan lagi dengan suara yang lebih keras, ayo cepat, kalau agak siang harganya sudah berubah. Kaget lalu bergumam. Kok bisa? Ah…pasti ada yang tidak beres. Gumamku dalam hati

Fenomena yang terjadi memang seperti itu. Tapi mau mengadu ke siapa? Toh…para tengkulak harus mencari makan dengan cara seperti itu. Ya wajar. Namanya juga tengkulak. Kalau ditanya jawabannya memang harganya segini atau segitu.

Terdengar namaku dipanggil lagi. Tapi ternyata itu ajakan untuk segera meneguk kopi hitam yang sudah disediakan diatas balai bambu. Segelas kopi itu pun kuhabiskan ditemani sepuntung rokok yang semalam dimatikan dan kusimpan diatas palang pintu.

Sampai sekarang pun saya masih bertanya-tanya kenapa harga kopra berubah antara pagi, siang sore maupun malam. Rata-rata harga kopra hanya sebanding dengan sebatang sabun mandi kalangan masyarakat bawah. Lalu muncul pertanyaan, bukannya harga kopra harus sebanding dengan harga 1kg beras karena harus didatangkan dari pulau Jawa? Tidak perlu berharap ketika pemerintah sibuk bercinta dengan pengusaha, rohaniwan sibuk dengan tradisi/ritual ekaristi, LSM sibuk kencan dengan lembaga donor. Keberadaan kelompok ini tidak perna menyadari sudah menggantikan kepemimpinan tatanan komunal masyarakat setempat. Ada tumpang tindih kepemimpinan.

Pernak-pernik leluhur jadi miniatur. Balai desa jadi tempat berlindung hewan peliharaan masyarakat dikala terik. Masyarakat kebingungan dengan budaya kristiani dan adat istiadat setempat ketika wujud persembahan masyarakat sebelumnya adalah di nuba nara (batu perjanjian) yang kini sudah dipindahkan ke altar gereja. Keberadaan gereja menghilangkan rumah adat yang dijaga weruin (kepala suku). Mereka lalu menuding budaya penghambat pembangunan ketika masyarakat lebih mementingkan kekerabatan dengan mengeluarkan jutaan rupiah untuk ritual adat ketimbang memikirkan biaya kuliah atau pendidikan anaknya.

Sebuah konsepsi dan indikasi
Terlepas dari itu, bolelah kita berangan-angan. Andaikan kopra itu dibeli oleh desa. Atau kongkritnya semacam koprasi desa, dan setiap kilogram misalnya disisikan Rp 100 untuk desa. Bayangkan saja dalam setahun berapa ton kopra yang ditimbang dan berapa rupiah yang disisikan untuk desa yang lalu kemudian dipakai untuk membangun desa baik fisik maupun non fisik? Jikalau demikian, tidak mungkin saya dan beberapa teman saja yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke peguruan tinggi. Sebab desa mampu memberi pinjaman kepada masyarakat lewat koperasi desa.

Tapi apakah pernah ada yang berpikir demikian? Jawaban dari pertanyaan itu belum terjawa sampai sekarang. Lalu apa yang bisa kita lakukan oleh kita sebagai mahasiswa, ketika melihat bahan baku semisal kopra tadi? Pertanyaan terakhir ini konyol sekali karena mahasiswa yang kuliah di jawa tidak mau pulang. Mereka terlanjur berpikir kolot warisan leluhur, menilai terbelakang peninggalan nenek moyang. Kalau pun ditanya, jawabannya cuma satu. Kalau pulang, mau kerja apa dikampung? Mendengar jawaban itu saya selalu bergumam, bukannya tingkat pendidikan harus sejalan dengan realitas kehidupan social budaya masyarakat setempat? Teringat celetukan teman saya saat mengikuti diskusi regular yang diadakan Generasi Muda Adonara (GEMA) Surabaya. Ibu saya petani, bapak saya petani, maka saya pun petani. Demikian teman saya bergumam!

penutup
Begitulah kira-kira proses inkulturasi budaya yang seolah tidak berjalan semestinya. Persoalan ini perlu dipikirkan oleh pemimpin-pemimpin pada aras atas seperti pemerintah, aras tengah seperti agamawan serta pada akar rumput oleh LSM atau mahasiswa. Pertanyaan yang menjadi bahan diskusi kita dalam konteks persoalan yang diangkat diatas adalah
1. Bagaimana kepemimpinan pada aras atas, aras tengah dan akar rumput mengambil peran?
2. Ketika kita berbicara proses inkulturasi yang berjalan tidak semestinya, apakah pendidikan perlu diarahkan sebagai wahana pembudayaan budaya bangsa jikalau pendidikan dipandang sebagai jembatan menuju perubahan ke arah yang lebih baik?
3. Dimanakah posisi kita sebagai mahasiswa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar